Lingkungan

Pembuktian Hukum Kasus Karhutla Perlu  Data dan Kajian Ilmiah

JAKARTA - Kalangan akademisi mengingatkan proses pembuktian hukum dalam kasus kebakaran lahan di perkebunan kelapa sawit dan HTI  (hutan tanaman industri) perlu didukung data dan kajian ilmiah. Jika tidak, masyarakat dan perusahaan akan menjadi korban putusan hukum tidak adil dan hanya berdasarkan tekanan dari LSM. 

Pernyataan itu disampaikan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Dr Yanto Santosa, pakar biologi Dr Gunawan Djajakirana, pakar agrometeorologi dan perubahan iklim Idung Risdiyanto, serta ahli tanah IPB Dr Basuki Sumawinta, belum lama ini.

Menurut Yanto Santosa, akibat lemahnya pola pembuktian yang tidak memenuhi kaidah ilmiah, kerap terjadi dengan materi gugatan yang sama terjadi putusan pengadilan yang berbeda-beda.
Masalah itu tidak berhenti sampai disitu. Tekanan para yang LSM yang kurang memahami konteks gugatan dan jalannya persidangan secara utuh semakin menimbulkan kontroversi dan dampak sosiologis.

Karena itu, Yanto mengingatkan, masalah ini harus dituntaskan agar tidak berdampak negatif dan sistematik bagi sektor kelapa sawit dan HTI yang berkontribusi besar bagi perekonomian nasional.

”Perlu gambaran yang utuh tentang proses hukum kebakaran ditinjau dari kaidah ilmiah sehingga berbagai kontroversi dapat dihindari," kaya Yanto.

Gunawan mengungkapkan, tidak semua karhutla  menimbulkan dampak pada kerusakan lingkungan hidup khususnya kerusakan tanah. Dampak yang timbul dan tingkat kerusakannya sangat terkait dengan tingkat keparahan kebakaran.  Umumnya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia masuk pada tingkat keparahan ringan.

Hasil kajian ilmiah, kata dia, menunjukkan bahwa tidak semua karthutla  mengakibatkan kepunahan seluruh jenis flora dan fauna. Kebakaran tidak hanya  mengakibatkan penurunan tetapi juga peningkatan jumlah jenis/individu kekayaan jenis dan perubahan komposisi, serta lebih bersifat site spesifik. 
Karena itu, perhitungan ganti ruginya harus dilakukan secara khusus untuk setiap lokasi kebakaran. 

"Penetapan besarnya dampak dan nilai kerugian seharusnya hanya dapat dilakukan jika kondisi keanekaragaman hayati sebelum terjadinya kebakaran diketahui,” papar Gunawan.

Sementara itu, Idung mengungkapkan, data hotspot tidak dapat menjadi indikator adanya kebakaran. Sebab hotspot sekadar menggambarkan titik panas. Apakah di daerah tersebut ada kebakaran, maka perlu dicek ke lapangan.

Misalnya ada letusan gunung, maka satelit akan menangkap data sebagai hotspot. Padahal tidak ada kebakaran di wilayah tersebut.

"Jadi hotspot tidak bisa jadi bukti hukum kasus kebakaran lahan," kata Idung.

Sementara itu Basuki Sumawinata mengingatkan, perlu dilakukan revisi dalam lampiran PermenLH No 7/2014 agar penetapan ganti rugi logis. Pasalnya, dalam  berbagai kasus perkara pidana karhutla, parameter pengubah ganti rugi hanya berdasarkan luasan. Sebagai contoh untuk luasan 1.000 ha, perhitungan kerugian sebesar Rp 366 miliar, luasan 3.000 ha, kerugian lingkungan yang harus diganti sebesar Rp 1.0547 miliar dan luasan 20.000 ha, ganti kerugian sebesar Rp7.986 miliar.

“Dalam perhitungan tersebut, semua paramater dianggap relatif tetap, kecuali untuk kerugian umur pakai karena perbedaan harga komoditas dan produktivitas.”

Menurut Basuki, seharusnya, nilai pengubah dari setiap paramater dalam pedoman penghitungan, harus disesuaikan dengan kondisi lapangan. Hal ini karena sifat gambut bervariasi tergantung keadaan biodiversitas tumbuhan hutan pada saat pembentukan gambut.(*)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar